+62271 788 9342
bwi@watchbusiness.org

Agroforestry Kopi: Ketika Pembangunan Ekonomi “Berdamai“ dengan Lingkungan

Selasa 22 Oktober 2019

Tanggal 5 Juni 2017 lalu, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Business Watch Indonesia (BWI) didukung oleh Solidaridad dan berkolaborasi dengan Kelompok Tani Hutan (KTH) Kepengen Maju mengadakan penanaman perdana kopi arabika. Kopi akan ditanam dengan sistem agroforestri sebagai upaya konservasi hutan Merapi. Agroforestri rencananya akan diterapkan pada lahan seluas 500 hektar di hutan rakyat di kawasan Merapi, termasuk kopi. Kegiatan yang berlokasi di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolaliini merupakan salah satu kegiatan dalam program “Lanskap Merapi Berkelanjutan“.

Agroforestri kopi dipilih sebagai salah satu upaya konservasi lingkungan karena memberikan manfaat secara ekonomi dan bagi lingkungan. Masyarakat dapat menerima penghasilan tambahan dengan mengolah buah kopi tanpa harus menebang pohonnya, sehingga dapat membantu mempertahankan cadangan karbon dan air tanah dalam lanskap. Selama ini, masyarakat memanfaatkan hutan rakyat hanya untuk tanaman kayu dan rumput untuk ternak.

“Dengan adanya penanaman kopi di hutan yang pertama, masyarakat akan mendapat tambahan penghasilan, kedua supaya hutan lebih dijaga dan tidak menjadi gundul, ketiga mencegah kerusakan lingkungan di Desa Tlogolele,“ jelas Widodo, Kepala Desa Tlogolele.

Abad 17, Kopi Tiba di Jawa

Kopi bukan tanaman baru di Jawa. Tahun 1696, Belanda membawa bibit kopi dari Malabar, India, ke Pulau Jawa. Saat itu, kopi sempat dibudidayakan di Kedawung, perkebunan dekat Batavia, tapi gagal karena gempa bumi dan banjir. Budidaya kedua kemudian dicoba dengan menggunakan stek pohon kopi dari Malabar. Cara ini ternyata menghasilkan kopi dengan kualitas yang sangat baik, yang kemudian dijadikan bibit untuk perkebunan kopi di Indonesia, termasuk Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Timor.

Tiga spesies kopi pernah dibudidayakan di Indonesia. Spesies kopi yang pertama kali dibudidayakan di Indonesia adalah arabika. Kala itu, praktek pertanian dan pengendalian hama belum semaju sekarang, sehingga ketika serangan karat daun meluas pada tahun 1878, cara termudah adalah mengganti spesies kopi dari arabika menjadi liberika. Penyakit yang sama ternyata menyerang kopi liberika, maka pada tahun 1907, kopi robusta mulai dibudidayakan. Kopi robusta ternyata lebih tahan terhadap karat daun dan cocok ditanam di dataran rendah.

Meskipun spesies liberika dan robusta lebih tahan terhadap karat daun, tetapi karakteristik kopi arabika lebih disukai. Oleh karena itu, kopi liberika dan robusta lebih banyak dijual sebagai kopi komersial yang umumnya berkualitas rendah.

Kopi Indonesia, yang sebagian besar dibudidayakan di daerah Jawa, sempat mendunia. Bahkan muncul istilah di kalangan pecinta kopi bahwa “Minum jawa berarti minum kopi“.

Kopi Merapi

Pada zaman kolonial Belanda, salah satu wilayah yang pernah membudidayakan kopi adalah kawasan Merapi. Setidaknya terdapat tiga kabupaten di kawasan Merapi yang menjadi perkebunan kopi yaitu Sleman (DI Yogyakarta), Klaten dan Boyolali (Jawa Tengah). Pemerintah pun pernah mengembangkan budidaya kopi di Merapi secara intensif pada tahun 1984 dan tahun 1992.

Namun luas perkebunan kopi di kawasan Merapi mengalami penurunan akibat erupsi maupun alih fungsi lahan. Petani kopi pada saat itu tidak terlalu memperhatikan pengolahan paska panen kopi, sehingga mereka cenderung menjual kopi dalam bentuk mentah atau biji basah. Akibatnya, hasil kopi saat itu dirasa kurang mampu bersaing dengan komoditas lainnya. Karena inilah, pada tahun 1995, kebun kopi beralih ke kebun sayur dan tembakau.

Arabika Perlahan Ambil Alih Pasar Robusta

Kondisi tersebut sangat disayangkan, mengingat Indonesia dikenal sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia, setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, luas 90 persen perkebunan kopi di Indonesia dikerjakan oleh rakyat dan luasnya cenderung meningkat pada periode tahun 1980 – 2016. Tahun 1980, luas areal kopi hanya sekitar 700 ribu hektar, dibandingkan tahun 2016 dimana luasnya tahun 2016 mencapai 1,2 juta hektar.

Dari luas tersebut, kopi robusta masih mendominasi produksi kopi Indonesia. Tahun 2014, Dari 643.857 ton produksi kopi Indonesia, sebanyak 73,57% atau 473.672 ton adalah robusta, sementara sisanya sebanyak 170.185 ton adalah kopi arabika. Namun demikian, luas dan produksi kopi arabika cenderung meningkat karena jenis kopi ini biasanya memiliki rasa dan aroma spesial yang tidak dapat ditemukan pada kopi liberika dan robusta. Sebuah penelitian tahun 2004 menyatakan bahwa 66% produksi kopi dunia merupakan jenis kopi arabika.

Luas Areal Kopi Rakyat di Indonesia menurut Jenis Kopi (Pusdatin, 2016)

Tahun

Kopi Robusta (Hektar)

Kopi Arabika (Hektar)

2010

920.790

242.021

2011

902.341

282.626

2012

902.548

282.691

2013

879.117

314.963

2014

863.731

319.932

 

Kembali Ke Sistem Agroforestry Untuk Kelestarian Kopi 

Menurut sebuah organisasi internasional yang bekerja pada komoditas kopi – International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi di dunia cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2015/2016, penduduk dunia mengkonsumsi sekitar 9 juta ton kopi. Angka ini naik sekitar 1,3% jika dibandingkan dengan konsumsi kopi tahun 2012/2013.

Tren ini menarik para petani kopi untuk mendongkrak produksi kopinya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengubah cara tanamnya. Saat pertama kali diperkenalkan, kopi dibudidayakan di hutan, di bawah naungan tanaman-tanaman lainnya. Namun cara ini perlahan berubah menjadi sistem monocropping,  dimana kopi ditanam dalam sebuah hamparan, tanpa adanya tanaman lain.

Namun banyak penelitian menyatakan hal yang berbeda. Budidaya kopi dengan sistem monocropping justru memberikan banyak kerugian, di antaranya tanaman kopi menjadi lebih rentan terhadap suhu tinggi dan hama, tanah menjadi lebih cepat kering dan tidak subur. Terlebih di masa sekarang ini, dimana cuaca ekstrem makin sering terjadi. Hal tersebut menyebabkan tanaman kopi menjadi rentan terserang penyakit dan menurunkan produktivitas.  Akibatnya, penggunaan pupuk dan pestisida cenderung meningkat, yang berarti ikut memperbesar biaya produksi kopi.

Kembali ke sistem agroforestry adalah cara yang saat ini banyak dilakukan petani kopi untuk memastikan mereka bisa terus memperoleh pendapatan dari kopi. Pohon-pohon yang menaungi kopi membantu mengurangi panas yang mengenai pohon kopi, sehingga iklim untuk pertumbuhan kopi lebih terjaga. Iklim yang stabil memastikan pohon kopi tumbuh dengan baik dan menghasilkan kopi berkualitas tinggi. Selain itu, dengan pohon-pohon naungan yang juga memiliki nilai ekonomis, petani memiliki setidaknya dua sumber pendapatan tambahan.

Tidak hanya memberikan kebaikan bagi kopi, sistem agroforestry ikut berperan dalam menjaga tanah dan lingkungan. Pohon naungan membantu mengurangi penguapan air tanah, sehingga tanah tidak mudah kering. Tanah yang cukup lembab tidak akan mudah mengalami erosi, terutama oleh angin. Pohon naungan membantu mempertahankan kesuburan tanah di sekitarnya, karena daun dan ranting yang jatuh, jika dibiarkan akan membusuk secara alami dan menjadi pupuk kompos alami.

Penerapan sistem agroforestry pada kopi merupakan salah satu contoh bahwa untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik, tidak harus mengabaikan kelestarian lingkungan. Bahkan dengan memperhatikan dan menjaga kelestarian lingkungan, lebih banyak kebaikan dapat diterima. 


Oleh: Tim Redaksi
Artikel ini juga dimuat di Sustainable Landscape Newsletter Edisi Juni 2017

Photo Credit: Business Watch Indonesia

LATEST UPDATE